Berawal Dari Genangan

Karya : Kgs Yahya

      KYB- Saat itu matahari masih berada di ufuk timur dengan diselimuti awan kelabu. Nampak bunga tersenyum di luar jendela kecil menghiasi harmonisnya rumah.
Agus, Kia, dan Nia kakak beradik yang dibilang kurang akur dalam segala hal berkicau layaknya ayam berkokok di pagi hari. Sungguh aneh, dengan ketidakakuranya itulah rumah mereka tetap harmonis. Canda tawa, kiacauan mulut, hingga baku hantam yang lembut menghiasi setiap pelosok rumah. Tak jarang jika dalam satu hari penuh dengan keramaian bak pasar tradisional. Nia dengan tubuh yang semampai dengan rambut terurai panjang, di pagi yang mendung termenung di dalam kamar.

      “Ngapoi Nia di dalam kamar, idak jingok apo dio rumah kita bergenang, kata sang kakak memindahkan perabot”.
      “Masih tidur mungkin kak, kata Kia adik Agus”.
      Hari itu hari kurang bersahabat. Setiap musim penghujan datang tak jarang jikalau rumah yang menemani siang dan malam di setiap harinya membuat rumah yang penuh dengan sarang laba-laba ini membuat air datang dengan sendirinya tanpa dijemput. Air juga akan surut dengan sendirinya tanpa diantar.
      Rumah yang tepat berada di belakang selokan penghubung Sungai Musi ini menelan seteguk titik buntu akibat air yang berada di buri rumah mengitip dari lubang-lubang kecil area belakang rumah dan menyelinap masuk secara perlahan dengan membawa segala jenis hadiah masuk dalam rumah. Dengan rumah yang masih semrawut karena belum adanya persiapan membuat kocar-kacir. Orang tua 3 saudara ini telah berangkat untuk mencari nafkah.
      Sang adik yang ternyata sms­-an dengan temannya di paksa turun dari kamar untuk membantu kakaknya yang berusaha mempercepat proses pemindahan prabot rumah ke lantai dua. “Woi, Nia begacang bantu kami di bawah ini. Banyu lah masuk nah?”, sang kakak yang menjerit menggelegar rumah”. Meskipun lantai dua sudah penuh sesak, barang dipaksa agar tetap naik.
      “Ya, sabar dikit napa, gaya rambut yang sudah tak tau arahnya”. Pembersihan maupun merapikan dengan sigap barang dipindahkan. Air telah memasuki ruang tengah pemindahan barang telah usai.
      “Untung?? (menghelus dada), lambet dikit kelebu barang dalam rumah, tutur Nia dengan santainya”.
      “Lemak  nian eee omongan kau, jawab sang kakak”.
      “Iyo nah,sekedar ngomong be, balas Nia”.
      Tak sengaja air yang sudah menggenangi seisi rumah membuat Nia terpeleset dan jatuh. Bukan menolong malah sang kakak menertawakan adiknya yang sudah basah kuyub. “lantaklah, kata sang kakak”.
      Jarum jam berdentang 12 kali, sang penyinar belum juga muncul dari kediamannya. Genangan air masih mendiami tempatnya, air genangan kian melejit naik hingga ketinggian 3,5 Inchh. Sang adik perempuan yang sebelumnya membantu membersihkan rumah, kini kembali ke tempat kediamannya.Dengan celana baru yang digantinya Nia duduk di tepi tangga dengan tangan satu bertumpang dagu ala Cerrybelle. Kia yang mulai sibuk dengan puitisnya tka menghiraukan adiknya yang merenung, entah apa yang direnungnya di tambah heningnya genangan air yang ada dalam rumahnya yang kacap di lantai.
      “Adik sang pujaan pria, tergores air mata yang basahi pipi,.....(membaca puisinya).Dengan pakaian yang tebal dan jaket yang membumbung tinggi hingga kelehernya, menelusuri jejak  dengan konyolnya puisi tersebut. Kekonyolannya bertambah saat kakaknya Kia dengan rambut ikalnya yang menggoda berjalan, tak sengaja melihat anak kecil bermain air di luar. Puput sapaan akrab si anak tersebut bermain air dengan girang di jabo rumahnya..
      “Put, hati-hati jangan main air nanti terpeleset, jadilah bibik Puput” terang Kia
      “Idak mang, kata yang dilontarkan Puput dan terus bermain air dengan perahu ketasnya yang di buatnya sendiri dengan susah payah”.
      Agus dengan celana pendeknya bertuliskan angka 27 itu membuang air yang bergenang di rumah. Tanpa melihat keluar perahu kertas yang dibuat oleh Puput terlempar dan terdampar oleh hanyutnya air setinggi mata kaki.
      “Ai mamang Agus ni, (mengambil dan menggumpalkan perahu ketas yang sudah layu tersiram genangan air oleh mamang)”.
      “Mangkanya Puputnya Minggir, jangan main banyu nanti nyampak seperti bibikmu, ingat Agus kepada Puput yang sebelumnya telah diingatkan oleh mamang Kia”.
      Sibuk dengan perahu kertasnya, akhirnya duduk di tangga kecil tiga bersaudara itu. Tak tau apa penyebabnya Puput yang tadinya diigatkan oleh mamangnya terpeleset. Entahlah terpeleset dimana mamang Kia dan mamang Agus serta Bibi Nia tak melihat kejadian tersebut pecah keheningan menjadi gemuruh tawa. Dengan rasa percaya diri dan tak ingin di olok-olok oleh mamangnya yang selalu di beri julujkan “Puput Cengeng” ia diam dan tidak mengeluarkan air mata sedikit pun. Puput langsung pulang dan menggantikan pakaiannya. Namun, dilihat dari kejadian itu nampaknya terjatuh akibat licinnya lantai yang berkeramik ditambah genangan air yang menyelimuti lantai tersebut.
      Seakan bosan dengan heningnya genangan air sontak pria yang berambut ikal mengeluarkan puisi yang mulai nyeleneh dan bahkan tidak masuk akal dari segi makna dan ekspresi wajah. Kata-kata yang dilontarkan kelar begitu saja tanpa memikirkan maknanya. Memang sih Kia jago dalam membuat puisi, namun karena ingin memecahkan dunia air sehingga genangan yang hening pecah bak gunung meletus.
      Matahari yang mulai menyinari daratan kota, memulai aksinya puisi yang dibuat kini menjadi kekonyolan sahut menyahut. Genangan air yang terus menaik tak dihiraukan lagi tiga bersaudara.Rumah yang berada di dekat dam ini nampaknya selalu mejadi sorotan media massa, ditambah dengan pasangannya banyu segala aktivitas menjadi berubah.
      “Cuci motor dulu aaaa, sudah lama tidak bersih kan motor, kata Agus hendak mengambil alat dari jok motornya”.
      “Aku juga mau bersihkan karpet kalu gitu, balas Kia dan dibantu adiknya Nia”.
      Jam terus bergulir aktivitas mencuci telah usai, mereka memulai berpuas ria menunggu surutnya air. Kia dan Nia mulai memutar sebuah lagu di handphone nya. Dengan nada yang melow dengan gaya yang khas dibawakan oleh penyanyi asli mulai di tiru oleh kedua bersaudaranya. Lagu yang lembut cocok untuk melepas rasa penat dan letih seusai bekarja. Sementara,Agus yang telah menyelesaikan bersih-bersih motornya, sibuk dengan catatan yang di gemarinya.
      “Nia bagaiman gayanya yang di reff saya lupa”,mengingat gayanya”.
      “Begini nah, ajar sang kakak”.
      Selesainya lagu pertama nampak hanya mengawali dari pemanasan belaka. Lagu kedua pun diputarnya. Dengan lagu yang sedikit ngebit menarilah mereka dengan ngebit pula. Setengah dari putaran lagu tersebut mereka tertawa melihat genangan kuning yang berada di dalam rumah keluar, bosannya hilang dengan satu tawa menggelegar.

 “Hahhhahhhah, Nia pun tertawa terbahak-bahak”.
“Apa yang kamu tertawakan, heran sang kakak tawa sang adik yang begitu menggelegar”.
“Itu nah kuning-kuning dalam rumah, menunjuk kearah kuning yang bergenang di dalam rumah dan segera mengambil sekop dan membuang keluar rumah”.
      Kuning yang mengambang tak membuat sebuah halangan mereka memutar lagu kembali. Sang adik Nia berhenti karena tak kuat akan mendapatkan hadiah lagi seperti tadi. Tertawa kembali keluar kepada sang kakak Kia yang sibuk dengan catatan kecilnya yang penuh makna baginya, saat kepala sang adik terbentur atap, maklum rumahnya berada di bawah dengan dua lantai, ditambah rendahnya rumah di bawah.
      Genangan air nampaknya mulai surut. Pembersihan di sudut rumah mulai kembali dilakukan. Genangan yang penuh dengan pasir mulai di sapu. Sang pelita hati Ibu tiga bersaudara pun pulang dari tempat kerjanya. Nia pun berangkat dari tempat kediamannya langsung menjemput ibunya. Untungnya pada saat ibu pulang genangan semata kaki itupun lenyap.
      “Lama sekali ibu ni, rumah tadi itu sudah kelbu ditambah perutku sudah berdisko dari tadi, mengambil bungkusan yang ada di tangan sang pelita”.
      Ibu yang baru pulang sontak memberikan bungkusan kepada Nia, tiap hari memang kelakuan sang gadis selalu begitu. Ditambah liburnya sekolah.

Jembatan Ampera Tempo Dulu

Jembatan Ampera Tempo Dulu
Jembatan Ampera adalah sebuah jembatan di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Jembatan Ampera, yang telah menjadi semacam lambang kota, terletak di tengah-tengah kota Palembang, menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi.